Jumat, 29 Mei 2009

I. SUMBER DAN PENYEBAB KESALAHAN
Kesalahan berbahasa dalam bidang klausa sering dijumpai dalam kegiatan berbahasa sehari-hari, baik secara lisan maupun tertulis. Data-data kesalahan berbahasa dalam berbahasa secara lisan misalnya, berpidato, ceramah, diskusi, berdebat, bercakap-cakap, dan lain-lain, yang dapat dikumpulkan melalui alat perekam suara yang dapat diputar ulang atau ditranskripkan. Sedangkan data-data dalam kegiatan berbahasa secara tertulis dapat dikumpulkan dari hasil kegiatan tulis-menulis seperti surat kabar, majalah, buku-buku, skripsi, makalah, dan sebagainya. Dari kedua sumber di atas dapat dipillih aneka kesalahan berbahasa dalam bidang klausa.
Ada berbagai sebab yang dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan berbahasa dalam bidang klausa, yaitu disebabkan oleh,
a. Pengaruh bahasa ibu
b. Penambahan preposisi di antara kata kerja aktif (aktif maupun pasif) dan objeknya
c. Penambahan kata kerja bantu “adalah” dalam klausa ekuasional
d. Perubahan kata kerja aktif menjadi kata kerja pasif dalam klausa medial aktif
e. Penghilangan kata “oleh” dalam klausa pasif
f. Penghilangan preposisi dari kata kerja berpreposisi
g. Penghilangan preposisi klausa intransitif atau penghilangan kata “yang” dalam klausa adjektival
h. Adanya kerancuan








II. LINGKUP KESALAHAN
a. Pengaruh Bahasa Ibu
Pengaruh bahasa ibu atau bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia dapat bersifat positif dan negatif. Apabila sistem bahasa yang digunakan sama dengan sistem bahasa Indonesia maka pengaruhnya bersifat positif atau transfer positif. Sedangkan, apabila sistem bahasa ibu yang diterapkan dalam berbahasa Indonesai tidak sama maka terjadi pengaruh yang negatif atau transfer negatif, yang disebut juga dengan interferensi.
Interferensi bahasa ibu atau daerah terhadap bahasa Indonesia menimbulkan kesalahan berbahasa. Hal ini dapat terjadi pada setiap tataran linguistik bahasa Indonesia, misalnya dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis (frasa, klausa, dan kalimat) wacana serta semantik. Artinya, akibat interferensi inilah terjadi kesalahan berbahasa dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, wacana, dan semantik.
Interferensi bahasa ibu terhadap bahasa Indonesia, khusus dalam bidang klausa, cukup banyak.

b. Penambahan Preposisi Di Antara Kata Kerja dan Objeknya Dalam Klausa Aktif
Klausa aktif biasanya mempunyai kata kerja transitif berimbuhan me- seperti memanggil, memperlancar, mendiami, dan sejenisnya. Setiap kata kerja transitif tersebut membutuhkan objek tertentu. Hubungan antara kata kerja transitif dan objek itu sangat erat. Susunannya predikat-objek tidak dapat dibalik menjadi predikat-objek, dan diantara predikat-objek tidak dapat disisipi preposisi.
Apabila konstruksi predikat - objek dalam klausa aktif disisipi oleh preposisi tertentu maka terjadilah klausa aktif yang tidak baku atau salah. Artinya, apabila ada konstruksi (predikat + preposisi + objek) dalam satu klausa aktif maka klausa itu tidak baku atau salah. Misalnya klausa aktif memanggil kepada saya, kami mengetahui akan tingkah lakunya, dan ayah menyukai menantunya. Klausa harusnya diucapkan ataupun dituliskan sebagai ia memanggil saya, kami mengetahui tingkah lakunya, dan ayah menyukai menantunya.
c. Penambahan Kata Kerja Bantu “Adalah” Dalam Klausa Ekuasional
Klausa ekuasional yang terdiri subjek kata benda dan predikat juga kata benda, seperti ayah guru, ibu dokter, dan kakak tentara, sering disisipi oleh kata kerja bantu adalah. Dengan demikian maka klausa ayah guru bersaing dengan ayah adalah guru, ibu dokter bersaing dengan ibu adalah dokter, dan kakak tentara bersaing dengan kakak adalah tentara.
Klausa ekuasional adalah klausa yang berpredikat nomina atau kata benda. Klausa ekuasional yang disisipi kata sering kita jumpai dalam penggunaan bahasa, baik secara tertulis maupun lisan.

d. Pemisahan Pelaku dan Kata Kerja Dalam Klausa Pasif
Klausa aktif kamu menyepak bola mempunyai dua bentuk klausa pasif. Klausa pasif pertama adalah bola itu kamu sepak. Klausa pasif kedua adalah bola itu disepak oleh kamu.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelaku dan kata kerja dalam klausa pasif merupakan satu kesatuan yang padu. Ini berarti bentuk kamu sepak, kausepak, dan kusepak tidak boleh disisipi kata lain. Bentuk-bentuk seperti kamu akan sepak, kau mau sepak, ku hendak sepak tidak dterima dalam penggunaan bahasa baku.

e. Penghilangan Kata”Oleh” Dalam Klausa Pasif
Salah bentuk klausa dari kata kamu menyepak bola itu adalah klausa bola itu disepak oleh kamu. Kata oleh dalam konstraksi (V pasif + oleh + N/Pr) merupakan keharusan keberadaannya dalam penggunaan bahasa baku. Dalam penggunan bahasa tak baku dalam konstruksi itu sering dihilangkan sehingga terbentuk klausa yang tak baku, yakni bola itu disepak kamu. Sehingga klausa yang tidak baku itu dapat dianggap biasa saja atau dianggap benar.

f. Penghilangan Preposisi Dari Kata Kerja Berpreposisi Dalam Klausa Pernyataan
Klausa pernyataan ia benci akan wanita terdiri dari subjek ia dan predikat benci akan wanita. Predikat klausa itu berupa frasa verbal berstruktur (V intrasitif + Preposisi + N). Kedudukan preposisi dalam stuktur frasa verbal itu bersifat wajib karena benci akan merupakan satu kesatuan yang lebih dikenal dengan verba berpreposisi.
Apabila preposisi tersebut dihilangkan dari konstruksi (V intransitive + peposisi + N), maka frasa itu menjadi tidak baku. Pada gilirannya klausa di mana frasa tidak baku itu bergabung menjadi frasa yang tidak baku.

g. Penghilangan Kata Yang Dalam Klausa Nominal
Perhatikan dengan cermat kalimat berikut ini,
(1) Orang yang menangkap ikan itu tetangga saya
(2) Orang yang paling malas itu tetangga saya
Klausa orang yang menangkap ikan pada kalimat (1) tergolong klausa nominal yang terikat. Kata orang dalam klausa itu dietrangkan oleh frasa verbal. Klausa orang yang paling malas pada kalimat (2) termasuk klausa nominal yang terikat. Kata orang dalam klausa itu dijelaskan oleh frasa adjektival. Kata pada klausa orang yang menangkap ikan itu dan pada klausa orang yang paling malas itu wajib pemakaiannya.
Apabila kata yang dalam kedua klausa itu dihilangkan maka terjadi klausa yang tidak baku. Cobalah perhatikan kejanggalan kalimat berikut karena klausanya tidak baku.
(3) Orang menangkap ikan itu tetangga saya
(4) Orang paling malas itu tetangga saya
Kalimat (3) adalah kalimat yang tidak baku sehingga tidak diterima dalam masyarakat penggunaan bahasa. Kalimat (4) mungkin masih bisa jalan atau sering digunakan dalam bahasa non baku tetapi kalimat itu tetap tidak baku. Ini berarti bahwa klausa orang menangkap ikan itu adalah klausa yang salah, dan klausa orang paling malas itu juga adalah klausa yang tidak baku namun dalam bahasa non baku sering digunakan.

h. Penghilangan Kata kerja Dalam Klausa Intransitif
Klausa intransitif adalah klausa yang mengandung kata kerja intransitif, yaitu kata kerja yang tidak memerlukan sesuatu objek. Misalnya frasa ayah pergi ke kantor, dan ibu tinggal di rumah. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari terutama penggunaan bahasa non baku klausa itu dituliskan atau diucapkan menjadi ayah pergi ke kantor, dan ibu tinggal di rumah.
Apabila kita bandingkan klausa (1) ayah pergi ke kantor, dan kausa (2) ayah ke kantor maka segera terlihat perbedaannya. Klausa (1) mengandung kata kerja intransitif sedang klausa (2) tidak mengandung kata kerja intransitif. Klausa (1) bernama klausa intransitif sedangkan klausa (2) tidak bernama klausa intransitif. Dari sudut pandang klausa intransitif klausa (1) disebut klausa intransitif yang baku, sedangkan klausa (2) disebut klausa tidak baku.

i. Penambahan Kata Untuk Dalam Klausa Pasif
Klausa pasif adalaah klausa yang subjeknya berperan sebagai penderita. Misalnya klausa tamu disuruh pergi, dan aku diminta datang. Dalam penggunaan bahasa tak baku klausa itu, disisipi kata untuk sehingga klausanya dituliskan dan diucapkan menjadi tamu disuruh untuk pergi, dan aku diminta untuk datang.

j. Penggantian Kata Daripada Dengan Kata Dari Dalam Klausa Bebas
Perhatikan dengan cermat klausa berikut ini,
(1) Ini lebih mahal daripada itu
(2) Adiknya lebih lincah daripada kakaknya
Setiap klausa bebas di atas memperbandingkan dua hal atau benda. Dalam setiap perbandingan itu digunakan preposisi daripada. Aturan ini tidak selalu diikuti oleh pemakai bahasa lebih-lebih dalam pengguaan bahasa tidak baku. Alih-alih yang menggunakan preposisi daripada digunakan preposisi dari. Akibatnya terjadilah peggunaan klausa bebas yang salah atau tidak baku. Bentuk tidak baku dari klausa di atas, adalah
(3) Ini lebih mahal dari itu
(4) Adiknya lebih lincah dari kakaknya

k. Pemasifan Kata Kerja Dalam Klausa Medial
Klausa medial adalah klausa yang subjeknya berperan baik sebagai pelaku maupun sebagai penderita. Kata kerja yang digunakan dalam klausa medial biasanya kata kerja aktif. Misalnya klausa-klausa berikut ini:
(1) Dia menghibur dirinya
(2) Dia menyiksa dirinya
Subjek dalam setiap klausa medial di atas berperan pula sebagai penderita dan kata kerjanya berbentuk aktif. Aturan ini tidak selamanya diikuti oleh pemakai bahasa mungkin karena ketidaktahuan aturan atau memang disengaja. Akibatnya terjadilah pemakaian klausa medial yang tidak baku karena kata kerja aktif diubah menjadi kata kerja pasif. Bentuk tidak baku dari klausa medial di atas adalah
(3) (Sudah saatnya) dia hibur dirinya
(4) (Benar kamu melihat) dia siksa dirinya

l. Klausa Rancu
Jenis klausa ini disebabkan oleh berbagai hal. Ada klausa menjadi rancu disebabkan susunannya atau strukturnya rancu. Ada pula klausa yang menjadi rancu karena pilihan kata atau diksi yang tidak tepat. Bahkan ada klausa menjadi rancu karena pemakaian preposisi yang tidak tepat, karena penggunaan imbuhan yang salah.





III. Cara Menanggulangi Kesalahan Berbahasa Dalam Bidang Klausa
Dalam pengajaran bahasa, baik pengajaran bahasa pertama maupun kedua, kesalahan berbahasa yang diperbuat dianggap sebagai pertanda pengajaran bahasa belum berhasil. Muncullah konsep analisis konstratif dan konsep analisis kesalahan berbahasa yang bertujuan menyempurnakan pengajaran bahasa. Baik konsep analisis konstratif maupun analisis kesalahan berbahasa berupaya untuk meminimalkan, bila dapat menghilang, kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa.
Analisis kesalahan berbahasa memiliki enam langkah dalam mempersiapkan cara pengajaran bahasa kedua, yaitu:
a. Mengumpulkan data kesalahan berbahasa.
b. Mengidentifikasi dan mengklasifikasi kesalahan berdasarkan tataran linguistik.
c. Mengurutkan kesalahan frekuensi terjadinya.
d. Menjelaskan apa yang salah, penyebab kesalahan dan cara memperbaiki kesalahan.
e. Memprediksi tataran kebahasan yang rawan kesalahan.
f. Mengoreksi kesalahan dan mencari jalan untuk mengurangi atau menghilangkan kesalahan berbahasa.
Para penganut analisis konstratif berpendapat bahwa penanggulangan kesalahan berbahasa dalam bidang klausa, harus diawali dari penyempurnaan pengajaran klausa. Hal yang sama juga dianjurkan oleh kaum penganut teori analisis kesalahan berbahasa. Penanggulangan kesalahan berbahasa harus diawali oleh pembenahan perencanaan pengajaran klausa. Agaknya pandangan para ahli pengajaran bahasa pertama pun mengenai hal itu sama dengan ahli pengajaran bahasa kedua. Perbaikan kesalahan berbahasa dalam bidang klausa harus dimulai dari pembenahan perencanaan pengajaran klausa. Pendek kata perbaikan hasil pengajaran harus dimulai dari penyempurnaan pengajaran klausan itu sendiri
Berbicara tentang pembenahan pengajaran klausa berarti kita berbicara tentang komponen proses belajar mengajar klausa bahasa Indonesia. Pembicaraaan akan dipusat kepada dua komponen proses belajar mengajar klausa. Pertama, mengenai sumber bahan pengajaran klausa, penyusunan bahan pengajaran klausa, pengurutan dan penekanan bahan pengajaran klausa. Kedua, mengenai cara-cara penyajian bahan klausa seperti peniruan, penghilangan, latihan runtun, dan penguatan.
Ada tiga cara dalam penentuan landasan penentuan bahan pengajaran klausa, yaitu:
a. Bahan didasarkan pada perbedaan tataran klausa, bahasa ibu siswa dengan tataran klausa bahasa Indonesia. Hal ini dianjurkan oleh para pengikut teori analisis kontrastif.
b. Penentuan bahan pengajaran ditentukan dari analisis kesalahan klausa. Langkah-langkahnya mulai dengan mengumpulkan data kesalahan klausa, mengklasifikasi kesalahan klausa, berdasarkan tataran klausa dan diusulkan berdasarkan frekuensi terjadinya kesalahan. Kemudian dari kesalahan itu diprediksi kesulitan belajar dan kesalahan klausa yang mungkin dilakukan oleh siswa dalam mempelajari klausa bahasa Indonesia. Berdasarkan hal terakhir ini dapatlah disusun bahan pengajaran klausa yang lebih tepat.
c. Mendeskripsikan tataran klausa bahasa Indonesia dan memperkirakan butir-butir yang potensial mendatangkan kesalahan berbahasa. Hal ini dilengkapi dengan pengalaman guru selama ini dalam mengajarkan klausa bahasa Indonesia. Perpaduan kedua hal terakhir ini dapat dijadikan dasar dalam penyusunan bahan pengajaran klausa bahasa Indonesia.
Sebagai kesimpulan, berikut ini disajikan kesimpulan penanggulangan kesalahan berbahasa dalam bidang klausa seperti berikut,
a. Perumusan tujuan pengajaran frasa secara tepat dan operasioanal.
b. Memilih sumber bahan pengajaran klausa yang relevan dan beraneka. Menentukan urutan bahan pengajaran klausa. Menetapkan penekanan bahan pengajaran klausa. Menyusun bahan pengajaran klausa.
c. Menyusun pembelajaran dan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran yang sistematis, menyeluruh, dan relevan.
d. Memilih metode penyajian bahan klausa yang merangsang, menarik, bervariasi, dan menggiatkan siswa.
e. Memilih, membuat, dan mendemonstrasikan pemanfaatan media pengajaran klausa yang fungsional, menarik, dan sesuai dengan bahan dan tujuan pengajaran.
f. Menyusun kisi-kisi penilaian, menyusun butir-butir penilaian, dan menyusun alat penilaian hasil pengajaran klausa.

IV. Contoh Kesalahan Analisis Kesalahan Dalam Bidang Klausa
a. Pengaruh Bahasa Ibu
Salah Benar
Celananya Putra jelek Celana Putra jelek
Kami suka makan Kami sering makan
Tiwi datang sendirian Tiwi datang seorang

b. Penambahan Preposisi Di Antara Kata Kerja (Aktif Ataupun Pasif) Dan Objeknya Dalam Klausa Aktif
Salah Benar
Yuni mencari akan kesibukan Yuni mencari kesibukan
Ayah menyukai pada peliharaannya Ayah menyukai peliharaannya
Kakak menyayangi pada anak-anak yatim Kakak menyayangi anak-anak yatim

c. Penambahan kata kerja bantu adalah dalam klausa ekuasional
Salah Benar
Kakakku adalah dokter Kakakku dokter
Isa dijemput Ibu Isa dijemput oleh Ibu
Lantainya adalah keramik Lantainya keramik



d. Pemisahan Pelaku dan Kata Kerja Dalam Klausa Pasif
Salah Benar
Kami ingin ambil kiriman itu Ingin kami ambil kiriman itu
Mau nelayan beli umpan Nelayan mau beli umpan
Rian sanggup angkat kursi itu Rian angkat kursi itu

e. Penghilangan Kata Oleh Dalam Klausa Pasif
Salah Benar
Majalah itu dibaca Yuli Majalah itu dibaca oleh Yuli
Ayam dijual ayah Ayam dijual oleh Ayah
Kakakku ditemani ayah Kakakku ditemani oleh ayah

f. Penghilangan preposisi Dari Kata Kerja Berpreposisi Dalam Klausa
Pernyataan
Salah Benar
Aku kena kebohongan Aku benci akan kebohongan
Ayah bercerita peristiwa itu Ayah bererita tentang peristiwa

g. Penghilangan Kata Yang Dalam Klausa Nominal
Salah Benar
Adik tidak menuruti nasehat Adik yang tidak menuruti nasehat
Cewek paling cantik Cewek yang paling cantik
Siswa paling malas Siswa yang paling malas

h. Penghilangan Kata kerja Dalam Klausa Intransitif
Salah Benar
Nelayan ke laut Nelayan pergi ke laut
Mita ke Madiun Mita pergi ke Madiun
Nia dari desa Nia pulang dari desa
i. Penambahan Kata Untuk Dalam Klausa Pasif
Salah Benar
Dosen diharap untuk dating Dosen diharap datang
Dia disuruh untuk mencuri Dia disuruh mencuri
Kami diundang untuk menginap Kami diundang menginap

j. Penggantian Kata Daripada Dengan Kata Dari Dalam Klausa Bebas
Salah Benar
Kambing lebih besar dari ayam Kambing lebih besar daripada ayam
Ikan lebih enak dari tempe Ikan lebih enak daripada tempe
Kota lebih ramai dari desa Kota lebih ramai daripada desa

k. Pemasifan Kata Kerja Dalam Klausa Medial
Salah Benar
Aku tusuk kukuku Aku menusuk kukuku
Nana usap hidungnya Nana mengusap hidungnya
Dia benci dirinya Dia membenci dirinya

l. Klausa Rancu
Salah Benar
Belok kanan jalan terus Belok ke kanan boleh jalan terus
Dilarang tidak boleh berjualan di sini Dilarang berjualan disini
Tidak boleh berjualan di sini




Selain contoh di atas,
a. Pengaruh Bahasa Ibu
• Paragraf kedua kalimat kesatu
Salah
Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu.
Benar
Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuan itu.
• Paragraf ketiga kalimat keempat
Salah
Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak percaya.
Benar
Namun orang harus bagaimana mengatakan, kalau orang tua itu tak hendak percaya.
• Paragraf ketiga kalimat kelima
Salah
Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati.
Benar
Malah dia memaki dan menuduh semua manusia iri hati.
• Paragraf keempat kalimat kesatu
Salah
Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, anakku.
Benar
Sekarang kau diomongin orang-orang yang busuk mulut, anakku.
• Paragraf kelima kalimat ketiga
Salah
Akan tetapi, alangkah remuknya hati orang tua itu.
Benar
Akan tetapi, alangkah hancurnya hati orang tua itu.
• Paragraf keenam kalimat kesembilan
Salah
Dan ia terlentang di ranjangnya, enggak bergerak.
Benar
Dan ia terlentang di ranjangnya, tidak bergerak.

b. Penambahan Preposisi Di Antara Kata Kerja Dan Objeknya Dalam Klausa Aktif
• Paragraf kedelapan kalimat ketujuh
Salah
Dan semenjak itu., pada tiap jam empat hingga lima sore, matanya akan menatap kaca itu.
Benar
Dan semenjak itu., pada tiap jam empat hingga lima sore, matanya menatap kaca itu.

c. Penambahan Kata Kerja Bantu Adalah Dalam Klausa Ekuasional
• Paragraf ketujuh kalimat kelima.
Salah
Tapi saat-saat seperti itu, yang memberikan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah luka hatinya, hingga lebih meroyoh.
Benar
Tapi saat-saat seperti itu, yang memberikan masa bahagia dan harapan juga masa yang menambah luka hatinya hingga lebih meroyoh.

d. Pemasifan Kata Kerja Dalam Klausa Medial
• Paragraf kesebelas kalimat kedua
Salah
Aku sadar, bahwa tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama.
Benar
Aku sadar, bahwa tiada harapan lagi membuatnya hidup lebih lama.
• Paragraf kesebelas kalimat kelima
Salah
Di samping itu, secara samara-samar aku elus terus harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali.
Benar
Di samping itu, secara samar-samar aku mengelus terus harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali.
(Sumber: Cerpen “Anak Kebanggaan”)

e. Penambahan Kata “Untuk” Dalam Klausa Pasif
• Paragraf pertama kalimat kedua
Salah
Karena itu, polling yang akan dilakukan setelah keluarnya rekomendasi hanya untuk memetakan kekuatan dan percepatan pemenangan pasangan Sukawi-Sudharto yang diusung Partai Demokrat bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Benar
Karena itu, polling yang akan dilakukan setelah keluarnya rekomendasi hanya memetakan kekuatan dan percepatan pemenangan pasangan Sukawi-Sudharto yang diusung Partai Demokrat bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
• Paragraf keenam kalimat pertama
Salah
Adapun polling yang dilakukan oleh Partai Demokrat pasca- dikeluarkannya rekomendasi, kata dia, untuk pemetaan politik di daerah berkaitan peta kekuatan pasangan Sukawi-Sudharto.
Benar
Adapun polling yang dilakukan Partai Demokrat pasca- dikeluarkannya rekomendasi, kata dia, pemetaan politik di daerah berkaitan peta kekuatan pasangan Sukawi-Sudharto.
(Sumber: Artikel Koran Suara Merdeka, Edisi Senin 11 Februari 2008 “Polling untuk Menangkan Sukawi-Sudharto”)
f. Penghilangan Kata “Oleh” Dalam Klausa Pasif
• Paragraf ketiga kalimat kedua
Salah
Dengan demikian, pembangunan yang dibiayai dana rakyat itu mengutamakan kualitas.
Benar
Dengan demikian, pembangunan yang dibiayai oleh dana rakyat itu mengutamakan kualitas.
(Sumber: artikel “Sampel Beton Diteliti Di Undip)




















DAFTAR PUSTAKA
KONTEKS DAN SITUASI TUTUR

1.1 Konteks
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana pemerjelas suatu maksud. Sarana tersebut berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud (ko-teks/co-tex)dan yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian (konteks/contex).
Menurut Alwi et al. (1998:421) konteks terdiri atas unsur-unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Bentuk amanat sebagai unsur konteks antara lain dapat berupa surat, esai iklan, pemberitahuan, pengumuman. Kode menyangkut ragam bahasa yang digunakan, apakah ragam bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia logat daerah, atau bahasa daerah. Sementara itu, unsur konteks yang berupa sarana adalah wahana komunikasi yang dapat berwujud pembicaraan bersemuka atau melalui telepon, surat, dan televisi.
Di dalam peristiwa tutur ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu. Menurut Hymes (1968) faktor-faktor tersebut yakni, (1) setting atau scene yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur; (2) participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain; (3) end atau tujuan; (4) act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur; (5) key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam mengekspesi tuturan dan cara mengekspresinya; (6) instrument, yaitu alat atau sarana untuk mengekspresi tuturan, apakah secara lisan, tulis, melalui telepon atau bersemuka; (7) norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur; dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Kedelapan faktor dapat disebut dengan kata speaking.
Hymes (1964) yang kemudian dikutip Brown (1983) mengemukakan bahwa ciri-ciri konteks mencakupi: penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian.
Mengetahui penutur di dalam suatu peristiwa tutur memudahkan interpretasi maksud tuturan (Lubis 1993:85). Makna tuturan, “Demonstrasi harus dilakukan” tidak jelas tanpa diketahui penuturnya. Jika tuturan itu diekspresi oleh mahasiswa reformis, demonstrasi itu adalah unjuk rasa untuk menentang suatu kebijakan atau memprotes suatu keputusan. Tetapi, jika penuturnya ibu-ibu yang sehari-hari berkecimpung di dalam bidang tata boga, maksud tuturan itu adalah praktek pembuatan suatu jenis masakan atau makanan. Di dalam bidang itu ekspresi mendemonstrasikan bermakna “mempraktekkan”.
Pengetahuan tentang mitra tutur dapat memperjelas maksud tuturan. Perbedaan mitra tutur menyebabkan perbedaan tafsiran maksud tuturan. Ekspresi jauh memiliki tafsiran yang berbeda secara bertahap menurut usia manusia. Maksud jauh bagi mitra tutur dengan usia anak-anak tidak sama dengan maksud tuturan ibu bagi mitra tutur dewasa. Berjalan satu kilometer jauh bagi anak-anak. Hal itu tidak berlaku bagi mitra tutur dewasa. Bagi mitra tutur berjalan lima belas kilometer baru jauh.
Topik tuturan, yaitu pokok persoalan yang dibicarakan di dalam suatu peristiwa tutur. Topik tuturan menjadi sarana pemetaan maksud tuturan.
Waktu dan tempat bertutur berfungsi sebagai latar peristiwa tutur. Dengan mengetahui latar, maksud sebuah tuturan dapat mudah dipahami. Latar yang tidak jelas menjadikan penafsiran maksud tuturan menjadi sulit. Selain waktu dan tempat, latar juga berkenaan dengan hubungan penutur dan mitra tutur, gerak-gerik tubuh penutur, serta roman muka penutur.
Saluran atau media adalah wahana pengungkapan ekspresi. Atas dasar caranya, pengungkapan ekspresi tu dapat secara lisan dan tulis. Di dalam beberapa hal maksud tuturan lisan lebih mudah ditangkap dari pada tuturan tulis, karena tuturan lisan dapat disertai piranti komunikasi lain seperti sasmita dan ekspresi roman muka. Dengan menggunakan pongtuasi yang tepat, pengungkapan maksud ekspresi tulis dapat dilakukan dengan jelas. Berdasarkan bentuk saluran yang digunakan, pengungkapan ekspresi itu dapat melalui surat, telegram, telepon, tatap muka, dan televisi.
Kode berarti jenis bahasa. Sering pula kode ini disebut tranda atau bahasa. Peristiwa tutur yang memakai saluran atau media lisan dapat memilih salah satu dialek bahasa yang digunakan. Ketepatan pilihan dialek dapat memperjelas maksud tuturan.
Amanat adalah sesuatu yang hendak disampaikan. Pengungkapan amanat hendaknya diupayakan sedemikian rupa sehingga mitra tutur mudah menangkapnya. Kondisi mitra tutur menjadi acuan dalam memperoleh ketepatan penyampaian pesan. Jika mitra tutur bersifat umum, bentuk amanat yang disampaikan juga umum, begitu juga sebaliknya. Jadi, kesesuaian antara kondisi mitra tutur dan bentuk amanat atau pesan benar-benar harus diupayakan.
Peristiwa atau kejadian dapat bermacam-macam dan bergantung pada tujuannya. Setiap peristiwa tutur memiliki cara penuturan tertentu. Penuturan hakim atau jaksa di pengadilan tidak sama dengan penuturan ketua panitia suatu pertandingan dengan calon penyandang dana. Jika hal itu terjadi, maksud tuturan mudah ditangkap. Sebaliknya, jika tuturan ketua panitia pertandingan dengan calon penyandang dana sama dengan tuturan hakim atau jaksa di pengadilan, maksud tuturan sulit tersampaikan. Akibatnya tujuan terjadinya peristiwa tutur itu tidak tercapai.

1.2 Situasi Tutur
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Di dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur.
Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidetifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud situasi tutur tanpa mengkalkulasi situasi tutur merupakan langkah yang memadai. Komponen-komponen situasi tutur menjadi kriteria penting di dalam menentukan maksud suatu tuturan.
Leech (1983: 13-15) berpendapat bahwa situasi tutur itu mencakupi: penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyatakan fungsi pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Sedangkan mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pertuturan. Aspek-aspek yang terkait dengan komponen penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat keakraban.
Di dalam tata bahasa konteks tuturan mencakup semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan lain, biasa disebut ko-teks. Sementara itu, konteks latar dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.
Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan.
Tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan komponen situasi tutur yang keempat. Yang dimaksud komponen tersebut adalah bahwa tindak tutur merupakan tindakan juga. Konsep ini bertentangan dengan akronim NATO (no action talking only) yang memandang berbicara itu bukanlah tindakan. Benar bahwa tindak tutur itu merupakan suatu aktivitas. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan (act) (Austin 1962, Gunarwan 1994, dan Kaswati Purwo (1990).
Komponen situasi tutur yang terakhir adalah tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan itu merupakan suatu tindakan. Tindakan manusia, yaitu tindakan verbal dan nonverbal. Sementara itu, berbicara atau bertutur adalah tindakan verbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Tindak verbal adalah mengekspresi kata-kata atau bahasa.
Situasi tutur yang dikemukakan Leech (1983) mencakup penutur dan mitra tutur, tujuan, konteks, tindak tutur sebagai suatu tindakan, dan tuturan sebagai produk tindak verbal. Komponen tersebut menyusun suatu situasi tutur di dalam peristiwa tutur atau speech event. Di dalam praktek, mungkin saja komponen situasi tutur bertambah. Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan tempat pada saat tuturan diproduksi. Tuturan yang sama dapat memiliki maksud yang berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tuturan.
The Austro-Hungarian Compromise of 1867 (German: Ausgleich, Hungarian: Kiegyezés) established the Dual Monarchy of Austria-Hungary, formerly the Habsburg Empire. Signed by Emperor Franz Joseph of Austria and a Hungarian delegation led by Ferenc Deák, the Compromise established the framework of the new government in which the Cisleithanian (Austrian) and Transleithanian (Hungarian) regions of the state were governed by separate Parliaments and Prime Ministers. Unity was maintained through a common ruler, military, and several ministries. The Compromise was formally voted on by the restored Hungarian Diet on 30 March 1867.
Contents
[hide]

* 1 History
* 2 Terms
* 3 Continuing Pressures
* 4 Notes
* 5 References
* 6 Further Reading


[edit] History

Prior to the Compromise, the Habsburg Empire had addressed internal pressures through less drastic reform. Rising nationalism throughout the 19th century threatened the stability of the state as the ruling Austrian elite faced pressures from Magyars, Romanians, Czechs, and Croats, among others. Following the revolutions of 1848, the government enacted a series of constitutional reforms that failed to resolve the situation.[1] The state's loss in the Austro-Prussian War in 1866 was the final factor in the state’s decision to restructure. With the defeat, Austria lost the opportunity to have a continued influence in a unified Germany and any remaining claims in Italy, both of which had dominated foreign policy interests. The state needed to redefine itself in order to maintain unity in the face of nationalism.[2]

The suggestion for a dual monarchy was made by the Habsburgs but Hungarian statesman Ferenc Deák is considered the intellectual force behind the Compromise. Although initially a supporter of the Hungarian Revolution of 1848 and an independent state for Magyars, Deák broke with Lajos Kossuth and others and argued that Hungary benefited through continued unity with a wealthier, more industrialized Austria. Further, Deák believed that the Compromise would end the pressures on Austria of continually choosing between Magyar and Slav populations.[3]

[edit] Terms

Under the Compromise of 1867, Austria-Hungary had two capital cities, Vienna and Buda (subsequently Budapest). The two regions had separate Prime Ministers and Parliaments that created and maintained different laws. Austria-Hungary remained unified through several ministries and in the form of a single ruler, Emperor-King Franz Joseph. The army and navy were managed by a common Ministry of Foreign Affairs. Trade regulation was also unified under the Ministry of Finance. Terms of the Compromise were renegotiated every ten years.

[edit] Continuing Pressures

The Compromise of 1867 was meant to be a temporary solution to the problems the state faced. However, the resulting system was maintained until the forced dissolution of the state following World War I. The favoritism shown to the Magyars, the second largest ethnic group in the state after the Austrian Germans, was the source of discontent on the part of other ethnic groups like the Czechs and Romanians.[4] Although a Nationalities Law was enacted to preserve the rights of ethnic minorities, in reality the two parliaments took very different approaches to the continuing problem. In the Transleithanian region particularly, several ethnic minorities faced increased pressures of Magyarization.[5] Further, the renegotiations that occurred every ten years often led to constitutional crises. Ultimately, although the Compromise hoped to fix the problems faced by a multi-national state while maintaining the benefits of a large state, the new system still faced the same internal pressures the old had. To what extent the Dual Monarchy stabilized the country in the face of national awakenings and to what extent it alleviated, or aggravated, the situation are debated even today, particularly by ethnic groups in the region still constructing nation-states.

[edit] Notes
TANYA JAWAB PRAMENULIS UNTUK MEMUDAHKAN PEMBELAJAR MENGHASILKAN TULISAN
Abstrak : Bagi kebanyakan pembelajar Indonesia, baik yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai B1 maupun yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai B2, belajar menulis merupakan sesuatu yang sulit selama ini. Berdasarkan kenyataan ini, tentu bisa dibayangkan kalau belajar menulis dalam bahasa Indonesia, oleh penutur asing, akan dirasakan lebih sulit lagi. Agar mereka tidak frustrasi dalam belajar menulis, perlu dipikirkan cara yang dapat memudahkan mereka menghasilkan tulisan. Untuk dapat menghasilkan sebuah tulisan, dua hal utama diperlukan, yaitu: penguasaan struktur tulisan dan penguasaan topik yang akan ditulis. Oleh karena itu, keduanya perlu ditumbuhkan dalam pikiran pembelajar sebelum mereka mulai menulis. Penumbuhannya dapat dilakukan melalui tanya jawab sebelum menulis tentang hal yang telah ada dalam perbendaharaan pengalaman mereka. Dari perbendaharaan pengalaman mereka, kita memilihkan mereka topik untuk ditulis. Untuk membangkitkan ingatan mereka tentang topik itu, tanya jawab itu diperlukan. Butir-butir pertanyaan perlu dikembangkan sedemikian rupa dan urutannya disusun secara sistematis logis. Dengan demikian, di samping berfungsi membangkitkan ingatan mereka tentang pengalaman yang akan ditulis, dengan sendirinya butir-butir pertanyaan itu akan memberikan gambaran tentang jangkauan isi dan struktur tulisan yang akan mereka hasilkan. Hal terakhir ini akan menuntun mereka menghasilkan tulisan dengan organisasi yang baik. Setelah tanya jawab selesai, barulah mereka diminta menulis hal yang telah ditanyajawabkan.
Kata Kunci: Menulis, aktifitas pramenulis,



PENDAHULUAN
Bagi kebanyakan pembelajar Indonesia, baik yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai B1 maupun yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai B2, belajar menulis merupakan sesuatu yang sulit selama ini. Kesulitan itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, penjelasan teoretis guru. Sementara ini, guru pada umumnya mengawali pembelajaran menulis dengan penjelasan teoretis tentang tulisan yang baik. Penjelasan itu biasanya penuh dengan istilah-istilah teknis, baik yang berkaitan dengan jenis-jenis wacana, seperti naratif, deskriptif, ekspositoris, dan argumentatif, maupun yang berkaitan dengan organisasi wacana, seperti ide pokok, ide penunjang, kesatuan, dan kepaduan. Cara ini ternyata tidak mampu memberikan pemahaman yang memadai kepada siswa tentang tulisan yang baik. Di samping itu, cara ini juga menciptakan ketakutan tersendiri pada diri siswa ketika mereka menulis. Mereka takut kalau-kalau tulisan yang mereka hasilkan tidak sesuai dengan yang diidealkan dalam penjelasan guru. Akibatnya, mereka menjadi sangat hati-hati dalam menulis, sehingga produktivitas berbahasanya menjadi rendah.
Kedua, cara guru memberikan topik tulisan. Guru biasanya menempuh salah satu dari cara-cara berikut ini dalam memberikan topik tulisan kepada siswa, yaitu: (a) menetapkan satu topik untuk ditulis oleh semua siswa, (b) menetapkan beberapa topik untuk dipilih salah satu untuk dikembangkan oleh siswa, dan (c) membebaskan siswa memilih topik apa saja untuk dikembangkan. Cara (a), terutama, dan cara (b) memiliki resiko sebagian kecil atau sebagian besar, bahkan semua siswa tidak mempunyai pengetahuan yang memadai untuk mengembangkan topik yang disediakan. Cara (c), terkesan memberi peluang kepada siswa untuk mengembangkan topik yang paling mereka kuasai. Akan tetapi, karena dalam penerapannya tidak disertai waktu dan strategi khusus untuk menggali pengetahuan yang berkaitan dengan topik itu dari dalam pikiran siswa, dengan cara (c) itu pun ada resikonya, yakni siswa tidak dapat secara optimal menuangkan sesuatu yang sesungguhnya telah ada dalam benaknya.
Kalau pembelajar Indonesia saja memiliki kesulitan semacam itu dalam menulis, tentu bisa dibayangkan kalau belajar menulis dalam bahasa Indonesia, oleh penutur asing, akan dirasakan lebih sulit lagi. Agar mereka tidak frustrasi dalam belajar menulis, perlu dipikirkan cara yang dapat memudahkan mereka menghasilkan tulisan. Untuk dapat menghasilkan sebuah tulisan, dua hal utama diperlukan, yaitu: penguasaan topik yang akan ditulis dan penguasaan struktur tulisan. Oleh karena itu, keduanya perlu ditumbuhkan dalam pikiran pembelajar sebelum mereka mulai menulis. Penumbuhannya dapat dilakukan melalui tanya jawab sebelum menulis. Dasar teori dan wujud penerapan dari cara ini akan diuraikan selanjutnya melalui sub-sub pendekatan pengajaran menulis, proses menulis, aktivitas pramenulis, interviu sebagai salah satu cara menggali ide, dan contoh pengajaran menulis dengan aktivitas tanya jawab pramenulis.
MENULIS
Menulis adalah suatu kegiatan untuk mengungkapkan suatu kejadian yang berupa fakta-fakta, perasaan, sikap dan isi pikiran secara jelas dan efektif kepada para pembaca. Menulis merupakan kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan namun tidak semua orang menyukai hal ini. Arifin dan Amran S. Tasai menyebutkan bahwa bahasa tulis disebut juga sebagai ragam bahasa tulis. Ciri-ciri ragam bahasa tulis yaitu, unsur-unsur fungsi gramatikal (subjek, predikat, objek) harus dinyatakan, kejelasan makna dibantu oleh penggunaan ejaan yang tepat, bahasanya tidak terikat oleh kondisi, situasi, dan waktu sehingga apa yang ditulis dapat dimengerti oleh orang yang tidak ada di ruang itu dan pada waktu dan tempat lain. Sedangkan bahasa lisan disebut juga sebagai ragam bahasa lisan, yang mempunyai ciri-ciri, bahwa unsur-unsur gramatikal (subjek, predikat, objek) tidak selalu dinyatakan, kejelasan makna dibentuk oleh panjang pendeknya suara dan tinggi rendahnya, dan bahasanya sangat terikat oleh kondisi, situasi, ruang, dan waktu sehingga apa yang dibicarakan dalam ruangan hanya berlaku untuk waktu itu dan hanya dimengerti oleh orang yang ada di ruangan itu (Khaerudin Kurniawan, 2007)
Sekurang-kurangnya ada tiga komponen yang tergabung dalam keterampilan menulis, yaitu:
a. Penguasaan bahasa tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, antara lain meliputi kosakata, struktur kalimat, paragraf, ejaan, dan pragmatik.
b. Penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis.
c. Penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, atau makalah. (Mukh Doyin, Wagiran :2005)
Menulis bukan pekerjaan yang sulit melainkan juga tidak mudah. Untuk mulai menulis, setiap penulis tidak perlu menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu mudah, tetapi mempraktikannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis.
Proses Menulis
Hayes dan Flower (dalam Hillocks Jr., 1991), menyatakan bahwa ada tiga proses utama dalam menulis, yakni: (1) perencanaan, (2) penuangan (translating), dan (3) peninjauan. Banyak peneliti menemukan bahwa, pada penulis yang kompeten, menulis terdiri atas beberapa proses dan subproses yang bersifat nonlinier, rekursif, dan generatif (Oluwadiya, 1995).
Proses perencanaan terdiri atas tiga subproses, yaitu: (a) penggalian, (b) pengorganisasian, dan (c) penetapan tujuan. Proses perencanaan memiliki fungsi mendapatkan informasi dari lingkungan tugas dan dari memori jangka panjang yang akan digunakan untuk menetapkan tujuan dan rencana yang akan menuntun proses produksi teks, sehingga sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Proses penuangan, yang dituntun oleh memori penulis, berfungsi menghasilkan bahasa. Proses ini meliputi kegiatan-kegiatan mengingat-ingat rencana, mengingat-ingat proposisi, dan mengekspresikannya menjadi tulisan dengan bahasa. Sementara itu, proses peninjauan, yang terdiri atas subproses membaca dan mengedit, berfungsi untuk meningkatkan mutu teks yang dihasilkan dengan jalan mendeteksi dan mengoreksi kelemahan yang ada di dalam teks dan mengevaluasi tingkat kesesuaian teks yang dihasilkan dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Subproses pertama dari proses perencanaan, penggalian, meliputi pemanggilan butir-butir informasi yang relevan dengan topik dan pembaca, yang merupakan lingkungan tugas, dari memori jangka panjang. Hal ini penting untuk dilakukan karena butir-butir informasi yang rinci dan spesifik memiliki dua nilai utama.Pertama, butir-butir informasi yang rinci akan menarik perhatian pembaca. Kedua, hal yang sama akan mendukung dan menjelaskan topik yang dipilih oleh penulis. Subproses kedua, pengorganisasian, memiliki fungsi memilih butir-butir informasi yang paling bermanfaat dan mengorganisasikannya ke dalam rencana tulisan. Butir-butir informasi yang terorganisasikan dengan baik akan memberikan kejelasan kepada pembaca. Sayangnya, dalam hal mengorganisasikan butir-butir informasi inilah biasanya seorang penulis mengalami kesulitan. Agar butir-butir informasi itu terorganisasikan dengan baik, ia harus betul-betul dikuasai. Subproses ketiga, penetapan tujuan, berfungsi untuk mengingat kembali kriteria untuk menilai tulisan. Ingatan tentang kriteria ini diharapkan dapat meningkatkan mutu tulisan yang dihasilkan. Sejumlah studi yang mengkaji tentang proses menulis, baik pada penulis yang belum terampil maupun pada penulis yang telah terampil, menunjukkan bahwa proses perencanaan itu penting sekali dalam menulis.
Pendekatan Pengajaran Menulis
Ada banyak pendekatan pengajaran menulis yang jika diimplementasikan di dalam kelas akan menghasilkan model-model yang berbeda. Sutama dkk. (1998), berdasarkan beberapa sumber, mengatakan bahwa ada tiga pendekatan di dalam pengajaran menulis. Ketiganya adalah (1) pendekatan pola, (2) pendekatan konteks, dan (3) pendekatan proses. Karena pendekatan pada dasarnya merupakan seperangkat asumsi tentang sesuatu, maka, masing-masing pendekatan itu pun memiliki asumsi-asumsi (http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/IMadeSutama.doc)
Pendekatan pola mempunyai asumsi bahwa keterampilan berbahasa dapat dikuasai oleh seseorang melalui peniruan. Bahasa orang lainlah yang, antara lain, memicu tumbuhnya kemampuan berbahasa seseorang. Pengajaran menulis dengan pendekatan ini mempunyai tujuan akhir agar siswa mampu menghasilkan tulisan dengan pola-pola yang sempurna. Dalam penerapannya, siswa belajar menulis dengan media wacana-wacana dengan pola yang baik. Pola-pola wacana itu dianalisis, kemudian diterapkan dalam menghasilkan tulisan.
Pendekatan konteks mempunyai asumsi bahwa orang berbahasa karena ada tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Demikian juga halnya ketika orang menulis. Dalam penerapannya di kelas, siswa akan disuruh menulis dengan terlebih dahulu diberi tahu oleh guru apa tujuannya menulis, seperti bercerita, menjelaskan, membandingkan, atau menyampaikan pendapat, dan siapa yang menjadi sasaran tulisannya. Dengan konteks semacam itu, siswa diharapkan mampu menghasilkan tulisan dengan pola yang baik, sekali pun mereka belum pernah diajari secara khusus tentang pola-pola tulisan.
Pendekatan proses mempunyai asumsi bahwa menulis merupakan proses kognitif yang terdiri atas beberapa tahap. Secara garis besar, ada tiga tahap yang mesti dilalui jika orang hendak menulis, yaitu: (1) tahap perencanaan, (2) tahap penuangan, dan (3) tahap peninjauan. Dalam penerapannya di kelas, siswa akan dituntun oleh guru untuk berlatih melalui proses menulis itu tahap demi tahap, sehingga mereka merasa bahwa, jika proses itu diikuti, tulisan yang baik dapat dihasilkan dengan mudah.
Idealnya, ketiga pendekatan itu dipadukan penerapannya. Dikatakan demikian karena, kalau dicermati, setiap pendekatan memiliki kelebihan, jika dilihat rasional yang melandasi, walaupun tidak dengan kadar yang sama. Semuanya diperlukan untuk menangani kompleksitas proses dan konteks menulis yang mengharuskan kita dalam pengajarannya memperhatikan secara seimbang bentuk, penulis, isi, dan pembaca karena semua ini bukan merupakan entitas yang terpisah. Secara terpadu, pendekatan proses dapat dijadikan induk, sementara pendekatan konteks dapat diselipkan pada tahap perencanaan dan pendekatan pola dapat diselipkan pada tahap peninjauan. Namun, kalau ada kemauan untuk memilih hanya satu pendekatan saja, tampaknya memilih pendekatan proses merupakan langkah yang paling tepat. Lebih dari pendekatan-pendekatan lainnya, pendekatan proses tampaknya memberi prinsip-prinsip teori dan metodologi yang menyatukan. Dengan menerapkan pendekatan proses, kekurangan siswa dalam hal pengetahuan topik akan teratasi pada tahap perencanaan, kelancaran siswa dalam menulis tidak akan terganggu karena orientasi gramatikal sangat ditekan pada tahap penuangan, dan kerendahan kualitas tulisan siswa dapat ditingkatkan dalam tahap peninjauan.
KEMAMPUAN MOTORIK HALUS
Menulis bukan hanya sekedar kegiatan menorehkan simbol angka atau huruf di atas kertas. Masalah yang biasanya muncul pada masa awal munulis adalah kemampuan motorik halus yang belum berkembang optimal. Dalam menulis kemampuan untuk memegang alat tulis, mengendalikan arah gerakan dalam menulis, dan kecenderungan penggunaan tangan kanan atau kiri harus menjadi perhatian. Kemampuan motorik halus menyangkut koordinasi visual dan otot halus pada tangan, biasanya dapat diamati dari kegiatan menggunting, memegang benda, dan mewarnai. Anak-anak akan mengembangkan kemampuan motorik halusnya dengan baik jika mendapatkan kesempatan latihan yang cukup. Oleh karena itu, sepatutnya kita tidak mengabaikan program-program ketrampilan di pra sekolah. Program ketrampilan seperti menggunting, mewarnai, merekat, melipat, dan lain sebagainya merupakan latihan efektif pra menulis. Anak-anak juga menyukai kegiatan tersebut sehingga anda dapat memberikan latihan serupa di rumah. (http://missunita.wordpress.com/2008/01/10/mendampingi-anak-belajar-menulis)
Amati kemampuan anak untuk menggunakan alat tulis, misalnya ketika mewarnai atau memegang pensil. Pada masa awal menulis, anak-anak lebih senang menggunakan alat tulis yang berwarna-warni. Anda dapat menyediakan spidol warna-warni atau crayon bagi anak anda. Beberapa anak dengan kemampuan motorik halus kurang dan memiliki jari-jari gemuk, biasanya lebih mudah menggunakan alat tulis berukuran besar. Anda dapat mencoba memberikan spidol boardmarker atau pensil berukuran besar untuk latihan menulisnya. Secara bertahap anda dapat mengenalkan pengunaan alat tulis dengan ukuran yang umum digunakan.
AKTIVITAS MENULIS YANG MENYENANGKAN
Aktivitas menulis juga membutuhkan konsentrasi dan perhatian, yang cukup tinggi bagi anak. Seringkali guru atau orang tua menyodorkan latihan menulis yang membuat anak cepat bosan, misalnya menulis huruf a berulang kali dalam selembar kertas buku tulis (ampun deh…saya yang orang dewasa saja cukup malas untuk melakukannya). Yang perlu kita ingat adalah rentang perhatian anak masih cukup pendek, biasanya untuk kegiatan yang monoton (seperti menulis) anak-anak usia 4-5 tahun hanya mampu bertahan kurang dari 15 menit. Beberapa anak mungkin dapat mempertahankan kegiatan tersebut lebih lama, namun biasanya melalui proses pembiasaan. Hal ini bukanlah indikasi yang baik, bahkan merupakan indikasi ketidakberdayaan anak untuk mengekspresikan perasaannya kepada figur otoritas (pendampingnya). Tentu saja hal ini lebih beresiko daripada anak terlambat menulis.
Aktivitas Pramenulis
Oluwadiya (1995) mengatakan bahwa aktivitas pramenulis adalah pengalaman struktural yang mempengaruhi partisipasi siswa yang aktif dalam berpikir, berbicara, menulis, dan bekerja tentang topik yang ditetapkan dalam pembelajaran menulis. Aktivitas atau pengalaman seperti itu, yang dapat dilakukan, baik secara berkelompok maupun individual, bisa bersifat lisan atau tertulis. Ada banyak jenis aktivitas pramenulis; beberapa di antaranya adalah (1) brainstorming lisan berkelompok atau individual, (2) pengklasteran (clustering), (3) penyimpulan (looping), (4) perdebatan, dan (5) interviu.
Brainstorming melibatkan penggunaan pertanyaan pemandu untuk membuat siswa memikirkan topik atau ide yang telah ditetapkan untuk ditulis. Pertanyaan hendaknya ditulis di papan tulis dan semua siswa diminta untuk memikirkan jawabannya. Siswa perlu diberi waktu beberapa menit untuk memikirkan jawaban itu. Selanjutnya, siswa dapat ditunjuk secara acak untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu dan jawaban itu ditulis di papan tulis. Jawaban-jawaban itu, kemudian, dikopi oleh semua siswa untuk digunakan pada tahap berikutnya jika dianggap cocok. Brainstorming, dengan demikian, merupakan aktivitas kelompok untuk merangsang pikiran kreatif. Sekalipun demikian, individu dapat menggunakan teknik ini untuk menggali materi yang akan ditulis.
Pengklasteran merupakan aktivitas pramenulis yang memungkinkan penulis untuk merencanakan pikiran-pikiran mereka tentang topik yang akan ditulis dan memilihnya, kemudian. Teknik ini hampir sama dengan brainstorming. Hanya saja, pengungkapannya disempitkan menjadi sekadar kata atau ide dalam bentuk klaster. Langkah-langkah dari penerapan teknik ini adalah sebagai berikut. Pertama, guru menulis dan melingkari kata stimulan di papan tulis dan meminta siswa untuk mengungkapkan (kata) apa saja yang mereka pikirkan ketika melihat kata itu. Oleh guru, semua kata (respon) hendaknya ditulis dan dilingkari, dengan kata stimulan ditempatkan di tengah-tengah. Kedua, guru hendaknya menugaskan siswa untuk melakukan hal yang sama dengan waktu yang dibatasi. Hasil pengklasteran oleh mereka kemudian digunakan untuk mengembangkan paragraf.
Penyimpulan melibatkan aktivitas menulis tanpa henti apa saja yang terpikirkan tentang topik yang ditetapkan, tanpa perlu merasa takut membuat kesalahan. Setelah menulis beberapa saat, penulis berhenti, membaca, dan merefleksikan atau memikirkan apa yang telah ditulis dan menyimpulkannya dalam satu kalimat. Prosedur ini dapat diulang dua kali atau lebih untuk melahirkan ide yang akan ditulis.
Perdebatan merupakan tindak penyajian dua sisi argumen atau topik Teknik ini dapat digunakan untuk melahirkan ide, pikiran, konsep, gagasan, dan pendapat tentang topik yang akan ditulis. Semua keuntungan dari penggunaan bahasa lisan secara aktif oleh siswa menjadikan perdebatan sangat berguna dalam menstimulasi siswa untuk menulis.
Intervieu adalah aktivitas pramenulis lain yang dapat diajarkan kepada siswa untuk melahirkan ide-ide yang akan ditulis. Menurut Johnson (dalam Oluwadiya, 1995), penugasan kepada siswa untuk melakukan intervieu dengan temannya membantu menciptakan atmosfir yang santai untuk menulis. Untuk melaksanakan tugas itu, siswa dapat diberikan panduan tentang apa yang perlu ditanyakan.
Aktivitas pramenulis, apa pun jenisnya, sangat penting untuk dilakukan dalam kaitannya dengan kegiatan menulis. Dikatakan demikian karena menulis pada dasarnya adalah proses mengkomunikasikan sesuatu kepada pembaca melalui media tulisan. Jika penulis tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan, menulis tidak mungkin dilakukan. Aktivitas pramenulis memberikan sesuatu kepada siswa untuk mereka katakan. Sebagaimana dikatakan oleh D’Aoust (dalam Oluwadiya, 1995), aktivitas pramenulis melahirkan ide, mendorong mengalirnya pikiran secara bebas dan membantu siswa menemukan, baik hal yang akan dikatakan atau diungkapkan maupun bentuk atau struktur pengungkapannya. Dengan kata lain, aktivitas pramenulis memfasilitasi perencanaan produk maupun proses. Itulah sebabnya, banyak ahli merekomendasi aktivitas pramenulis karena, dengan aktivitas itu, siswa cenderung menulis lebih banyak dan dengan mutu yang lebih baik.


Kelebihan Intervieu Sebagai Aktivitas Pramenulis
Intervieu, sebagai salah satu jenis aktivitas pramenulis, memiliki manfaat ganda. Ia tidak hanya bermanfaat dalam kaitannya dengan kegiatan menulis, tetapi juga dalam kaitannya dengan kegiatan belajar berbahasa dalam arti yang lebih luas. Dalam kaitannya dengan kegiatan menulis, ada beberapa manfaat yang dapat dipetik oleh siswa dari kegiatan intervieu. Sebagaimana diketahui, dalam tahap menggali ide, sebagai satu penggalan dari proses menulis, ada tiga sumber yang dapat dituju oleh siswa sebagai penulis, yaitu: (1) sesuatu yang telah diketahui, (2) sesuatu yang pernah dilihat, dan (3) sesuatu yang pernah didengar dari perkataan orang lain. Untuk membangkitkan ingatan mereka tentang ketiga hal itu, tanya jawab itu diperlukan. Kegiatan menulis selalu menuntut untuk didahului oleh suatu periode bercakap-cakap yang bersifat eksploratoris tentang apa yang akan ditulis, suatu waktu yang diperlukan untuk melahirkan ide dan alternatif bahasa pengungkapannya. Butir-butir pertanyaan perlu dikembangkan sedemikian rupa dan urutannya disusun secara sistematis logis. Dengan demikian, di samping berfungsi membangkitkan ingatan mereka tentang hal yang akan ditulis, dengan sendirinya butir-butir pertanyaan itu akan memberikan gambaran tentang jangkauan isi dan struktur tulisan yang akan mereka hasilkan. Hal terakhir ini akan menuntun mereka menghasilkan tulisan dengan organisasi yang baik. Dengan kedua hal itu, yakni kombinasi antara isi dan bentuk, siswa akan memiliki rencana yang sangat penting yang memungkinkan mereka untuk menghabiskan lebih sedikit waktu dalam aktivitas pramenulis dan untuk menulis dengan lebih cepat sesudahnya.
Dalam kaitannya dengan kegiatan belajar berbahasa dalam skala yang lebih luas, pelaksanaan interview memiliki sejumlah kelebihan sebagai suatu teknik pengajaran. Sejumlah ciri menonjol dari teknik ini adalah (1) berorientasi kepada siswa, (2) memungkinkan terjadinya aktivitas belajar bahasa target secara bermakna dan komunikatif, (3) memberikan kepada siswa kesempatan mempraktikkan keterampilan menyimak dan berbicara, dan (4) menciptakan hubungan yang baik antara guru dan siswa.
PENGAJARAN MENULIS DENGAN AKTIVITAS TANYA JAWAB PRAMENULIS
Model pengajaran menulis yang akan disajikan berikut ini pernah diterapkan pada kelompok pembelajar asing dari jenjang perguruan tinggi. Mereka adalah mahasiswa Asian Studies, La Trobe University, yang mengikuti program belajar bahasa Indonesia selama dua bulan di STKIP (sekarang IKIP) Singaraja. Sebelum mereka mengikuti program ini, mereka telah mengikuti kuliah Indonesian I sampai dengan Indonesian III. Indonesian I, yang diperuntukkan bagi mahasiswa yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Indonesia, sepenuhnya bermaterikan percakapan dengan keterampilan membaca dan menulis berdasarkan materi percakapan. Indonesian II bermaterikan percakapan dan membaca serta menyimak. Penerjemahan, gramatika, dan gaya bahasa diajarkan pula, namun dalam kaitannya dengan ketiga keterampilan di atas. Indonesia III bermaterikan percakapan, membaca, menyimak, dan menulis, dengan penerjemahan, gramatika, dan gaya bahasa diajarkan dalam kaitannya dengan keempat keterampilan di atas.
Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut. Pertama, peserta diajak bertanya jawab oleh pengajar tentang topik yang akan mereka tulis. Dalam peristiwa tanya jawab ini, pengajar bertindak sebagai penanya, sedangkan peserta bertindak sebagai penjawab. Urutan pertanyaan ditata sedemikian rupa, sehingga secara otomatis menggambarkan sistematika tulisan yang akan dihasilkan. Kedua, setelah proses tanya jawab selesai, peserta diminta menulis atau mengembangkan topik yang telah ditanyajawabkan dengan selancar mungkin, tanpa perlu takut melakukan kesalahan. Ketiga, karya peserta yang paling banyak mengandung kesalahan (organisasi, gramatika, diksi, dan ejaan serta tanda baca), atas seizin yang bersangkutan, disalin di papan tulis untuk dijadikan bahan pembahasan. Terakhir, semua peserta memperbaiki karya mereka masing-masing, lalu menyerahkannya kepada pengajar.

PENUTUP
Untuk membantu pembelajar asing dapat menghasilkan sebuah tulisan dengan mudah, dua hal utama perlu ditumbuhkan dalam diri mereka, yaitu: penguasaan topik yang akan ditulis dan penguasaan struktur tulisan. Penumbuhannya dapat dilakukan melalui tanya jawab sebelum menulis tentang hal yang telah ada dalam perbendaharaan pengalaman mereka. Butir-butir pertanyaan dalam tanya jawab itu, jika dikembangkan sedemikian rupa, sehingga urutannya sistematis logis, di samping berfungsi membangkitkan ingatan mereka tentang pengalaman yang akan ditulis, juga akan memberikan gambaran tentang jangkauan isi dan struktur tulisan yang akan mereka hasilkan. Hal terakhir ini akan menuntun mereka menghasilkan tulisan dengan organisasi yang baik.











Daftar Pustaka
Gani, Erizal. 2007. Efektifitas Pengajaran Menulis. Sumatra Barat: Universitas Negeri Padang.
Hillocks, Jr., George. 1991. Research on Composition: New Directions for Teaching. Urbana: ERIC Clearinghouse on Reading and Communication Skills, National Institute of Education.
http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/IMadeSutama.doc, tanggal 08 Maret 2008, pukul 09.45

http://missunita.wordpress.com/2008/01/10/mendampingi-anak-belajar-menulis/, tanggal 08 Maret, pukul 09.56
Oluwadiya, Adewumi. 1995. “Some Prewriting Techniques for Student Writers.” In Kral, Thomas (Ed.). Creative Classroom Activities. Washington D.C.: United State Information Agency.
Kurniawan, Khaerudin. 2007. Model Pengajaran menulis Bahasa Indonesia. Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta (FBS).
Sutama, I Made. 1998. Pemaduan Pendekatan Konteks, Proses, dan Pola Dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Menulis (Hasil Penelitian). Singaraja: STKIP.
Tarigan, Henry Guntur. 1998. Menulis. Bandung: Angkasa.

Wagiran, dan Mukh Doyin. 2006. Curah Gagasan. Semarang: Rumah Indonesia.
KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MEDIA AUDIO-VISUAL (VCD)
DALAM PEMBELAJARAN MENYIMAK DRAMA PADA SISWA SMK


Abstrak: Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan atau dialog. Menyimak adalah adalah suatu proses kegiatan menyimak lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Dalam pembelajaran menyimak karya sastra, guru dituntut untuk menggunakan sebuah media karena agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Media merupakan salah satu sumber belajar yang dapat menyampaikan pesan-pesan pendidikan kepada para siswa. Salah satu media adalah media audio-visual (VCD). Media audiovisual adalah media instruksional modern yang sesuai dengan perkembangan zaman yang meliputi media yang dapat dilihat, didengar, dan yang dapat dilihat serta didengar. Media audio-visual dalam wujud VCD merupakan suatu media yang dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga pembelajaran berlangsung efektif dan efisien. Pembelajaran menyimak drama dengan menggunakan media audio-visual (VCD) pada siswa SMK merupakan salah satu cara yang dapat meningkatkan keterampilan menyimak karya sastra berbentuk drama. Karena pada saat ini dalam pembelajaran menyimak drama guru hanya meminta siswa untuk menyimak drama dari media yang berbentuk audio, sehingga terkesan membosankan.
Kata Kunci: menyimak, drama, media audio-visual (VCD).




PENDAHULUAN
Sastra merupakan hasil kreatifitas seseorang yang tidak hanya terwujud dalam keterampilan motorik ataupun kogisi melainkan suatu dorongan emosi yang didukung faktor-faktor eksternal. Sastra adalah kreatifitas manusia yang mempunyai budi yang terjabar dari rasa, karsa, dan cipta.
Menyimak dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting karena dapat memperoleh informasi untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Begitu juga di sekolah, menyimak mempunyai peranan penting karena dengan menyimak siswa dapat menambah ilmu, menerima dan menghargai pendapat orang lain. Oleh sebab itu dalam pembelajaran menyimak memerlukan latihan-latihan yang intensif.
Dalam pembelajaran menyimak sastra, guru dituntut untuk selalu mengasah kemampuan siswa dalam menguasai karya sastra. Karena dengan karya sastra, siswa dapat mengambil amanat ataupun isi yang terdapat dalam karya sastra baik drama, cerpen, puisi, novel, atau pun karya sastra yang lain untuk diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan tersebut tidak hanya dibutuhkan kompetensi guru yang memadai, tetapi harus didukung dengan media pembelajaran yang lengkap. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut seorang guru dituntut untuk menyediakan atau membuat media pembelajaran yang praktis dan mudah untuk digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar.
Dalam kegiatan pembelajaran media merupakan salah satu sumber belajar yang dapat menyampaikan pesan-pesan pendidikan kepada para siswa baik dalam perbedaan gaya belajar, minat, intelegensi, keterbatasan indra, hambatan jarak dan waktu dan lain-lain yang dapat dibantu dengan memanfaatkan media. Oleh karena itu kehadiran media dalam pembelajaran tidak mungkin diabaikan. Apalagi dalam pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan kehadiran media sangat penting.
Dalam proses belajar mengajar, kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting karena pemanfaatan media sebagai perantara dapat memperjelas bahan atau materi pelajaran yang disampaikan guru yang sifatnya abstrak. Kerumitan atau kompleksitas bahan atau materi pelajaran yang akan disampaikan guru kepada peserta didik dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media dapat membantu guru yang mengalami kesulitan untuk menjelaskan materi bahasan tertentu secara verbal (melalui kata-kata). Bahkan obyek bahasan yang tidak dapat dilihat secara kasat mata, terlalu mahal untuk dihadirkan ke dalam kelas, atau yang terlalu berbahaya untuk dibawa ke dalam kelas dimungkinkan untuk dipelajari peserta didik dengan bantuan media. Dengan demikian, peserta didik akan lebih mudah mencerna bahan atau materi pelajaran dengan bantuan media.
Media juga diperlukan untuk mengembangkan kemampuan bertanya siswa (questioning) dalam menggali informasi, mengecek pemahaman dan meningkatkan respon siswa.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMK merupakan salah satu mata pelajaran wajib. Melalui penguasaan kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu agar mampu berkomunikasi bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pada era global penggunaan bahasa secara baik dan benar merupakan syarat mutlak di dunia kerja.
Untuk menghadapi tantangan masa depan, kemampuan berkomunikasi menjadi salah satu syarat keberhasilan bekerja. Karena itu pelajaran Bahasa Indonesia dirancang, dikembangkan serta diarahkan untuk dapat mempersiapkan peserta didik mampu berkomunikasi di dunia kerja secara efisien dan efektif. Dengan keadaan yang seperti itu, seorang guru ketika mengajar dituntut untuk selalu kreatif agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Penulis berharap dalam pembelajaran menyimak drama melalui media audio-visual (VCD) dapat menjadi pedoman bagi guru agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses belajar mengajar.

MENYIMAK
Menyimak adalah suatu proses kegiatan menyimak lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan (HG.Tarigan : 28).
Penyimak yang baik adalah penyimak yang berencana. Salah satu butir dari perencanaan itu ada alasan tertentu mengapa yang bersangkutan menyimak. Alasan inilah yang kita sebut sebagai tujuan menyimak. Menyimak pada hakikatnya adalah mendengarkan dan memahami isi bahan simakan. Karena itu dapat disimpulkan bahwa tujuan utama menyimak adalah menangkap, memahami, atau menghayati pesan, ide, gagasan yang tersirat dalam bahan simakan.
Dalam peristiwa menyimak sudah ada faktor kesengajaan. Faktor pemahaman merupakan unsur utama dalam setiap peristiwa menyimak. Bila mendengar sudah tercakup dalam mendengarkan maka baik mendengar maupun mendengarkan sudah tercakup dalam menyimak.
Peristiwa menyimak selalu diawali dengan mendengarkan bunyi bahasa baik secara langsung atau pun melalui rekaman, radio atau televisi. Bunyi bahasa yang ditangkap oleh telinga diidentifikasi bunyinya. Pengelompokannya menjadi suku kata, kata, frasa dan klausa, kalimat dan wacana. Lagu dan intonasi yang menyertai ucapan pembicarapun turut diperhatikan oleh penyimak. Bunyi bahasa yang diterima kemudian diinterpretasikan maknanya, ditelaah kebenarannya atau dinilai lalu diambil keputusan menerima atau menolaknya.
Keberhasilan menyimak sangat bergantung pada kemampuan mengintegrasikan komponen-komponen di atas. Oleh karena itu, keterampilan menyimak dapat diartikan sebagai koordinasi komponen-komponen keterampilan, baik keterampilan mempersepsi, menganalisis, maupun menyintesis.








Pengertian keterampilan menyimak tampak lebih jelas dalam skema di bawah ini.


Keterampilan Mempersepsi Keterampilan Menganalisis Keterampilan Menyintesis

Membedakan bunyi bahasa Mengidentifikasi satuan Menghubungkan penanda
Mengenali kata gramatikal bahasa dengan penanda
Mengidentifikasi satuan lainnya
pragmatis Memanfaatkan latar
belakang pengetahuan



KETERAMPILAN MENYIMAK

Seseorang yang memiliki kemampuan menyimak yang baik tidak selalu mampu memahami apa yang disimak. Oleh karena itu, untuk memahami pesan yang disampaikan oleh pembicara, ada beberapa aksi yang perlu dilakukan dalam setiap situasi menyimak. Aksi yang ditampilkan oleh penyimak merupakan proses kognitif atau mental sehingga tidak mungkin ditinjau atau diamati secara langsung. Guru hanya bisa melihat efek dari aksi ini. Aksi terpenting untuk kesuksesan menyimak adalah proses pembuatan keputusan.
Penyimak harus membuat beberapa keputusan, seperti:
• Jenis situasi menyimak apa saja yang dimunculkan?
• Rencana apa yang disusun untuk menyimak?
• Kata-kata dan satuan-satuan makna apa saja yang penting untuk disimak?
• Apakah pesan yang disampaikan masuk akal?
Jika merujuk pada pertanyaan-pertanyaan di atas, menyimak diartikan sebagai proses berpikir - berpikir tentang makna. Penyimak yang efektif mengembangkan cara berpikir tentang makna pada saat ia menyimak. Cara penyimak membuat keputusan disebut strategi menyimak (Rost, 1991: 4).

DRAMA
Aminuddin (2003) menyebutkan bahwa istilah “drama” semula berasal dari Yunani “draomai” yang berarti berbuat, bertindak, atau bereaksi. Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan atau dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh beda dengan lakuan serta dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai karya seni yang harus ditonton, drama sangat mengutamakan unsur tingkah laku konkret para tokohnya dan lawan kata atau dialog. Dengan melihat drama, penonton seolah-olah melihat kahidupan dan kejadian dalam masyarakat. Hal ini karena drama merupakan potret kehidupan manusia, yang suka dan duka, konflik, dan aneka kehidupan lainnya yang memang penuh warna (Suharianto: 2005).
Drama adalah bentuk karya sastra yang tersusun atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Yang termasuk unsur intrinsik seperti, peristiwa, cerita atau lakon, plot atau alur, tokoh tokoh, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Yang termasuk unsur intrinsik drama, antara lain tokoh, pemain, dialog, latar, alur atau plot, dan penonton atau publik.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas cerita yang dihasilkan. Unsur yang dimaksud adalah sosial budaya, politik, dan hankam (Zainuddin, 1991).

MEDIA AUDIO-VISUAL (VCD)
Akhmad Sudrajat dalam media pembelajaran, menjelaskan bahwa media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti “perantara” atau “pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti: buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik
Media pembelajaran apa pun yang digunakan pada prinsipnya harus dapat meningkatkan efektifitas dan kelancaran proses belajar mengajar terutama dalam memperjelas materi yang dipelajari sehingga memudahkan terjadinya proses belajar / perubahan tingkah laku pada diri siswa.
Wijaya Kusumah (2007) menyebutkan ada beberapa faktor penting yang perlu diperhitungkan dalam memilih alat bantu pembelajaran / media yaitu:
1. Wawasan dan kemampuan guru
2. Tujuan belajar yang ingin dicapai sesuai Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi yang akan dicapai
3. Fasilitas yang tersedia
4. Sederhana dan mudah dimengerti
5. Dapat memotivasi siswa
6. Menggunakan bahan yang mudah didapat
7. Dapat menggantikan objek yang sesungguhnya
8. Menarik perhatian
Beberapa manfaat media pembelajaran dalam proses belajar mengajar antara lain:
1. Media pengajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar.
2. Media pengajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar.
3. Media pengajaran dapat mengatasi keterbatasan indra, ruang dan waktu. :
a) objek / benda yang terlalu besar untuk ditampilkan dapat diganti dengan gambar, foto,slide, film atau model.
b) objek atau benda yang terlalu kecil yang tak tampak bisa disajikan dengan bantuan mikroskop, film,slide, gambar.
c) Kejadian langka yang terjadi di masa lampau dapat ditampilkan melalui rekaman video,film,foto, slide.
d) Objek atau proses yang amat rumit dapat ditampilkan secara konkret melalui film,gambar, slide, atau simulasi computer.
e) Kejadian atau percobaan yang dapat membahayakan dapat disimulasikan dalam computer,film,video.
f) Peristiwa alam seperti terjadinya letusan gunung berapi atau proses yang dalam kenyataanya dapat memakan waktu lama dapat disajikan dalam teknik rekaman seperti time elapse untuk film, video, slide atau simulasi komputer.
Media pengajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan lingkungan sekitar melalui kegiatan karya wisata, kunjungan ke museum, ke kebun binatang dll.
Penggolongan media secara umum dapat dilihat dari kemampuannya dalam membangkitkan rangsangan indra salah satunya adalah media audio-visual.
Yadissetya (2007) mengemukakan bahwa media audio-visual yaitu alat bantu mengajar yang mempunyai bentuk gambar dan mengeluarkan suara secara simultan. Dengan media audio visual ini seseorang tidak hanya dapat melihat tetapi sekaligus dapat mendengar sehingga dikenal dengan istilah audio visual aids (AVA) atau alat pandang dengar. Termasuk dalam media ini adalah film cerita, video, televisi, laser disc, compact disc video, dan computer multimedia.
Media audiovisual adalah media instruksional modern yang sesuai dengan perkembangan zaman yang meliputi media yang dapat dilihat, didengar, dan yang dapat dilihat serta didengar (Rohani, 1997:97-98).
Menurut Azhar Arsyad (2002:94) dalam media visual yang menggabungkan penggunaan suara memerlukan pekerjaan tambahan untuk memproduksinya. Salah satu pekerjaan penting yang diperlukan dalam media audio-visual adalah penulisan naskah dan storyboard yang memerlukan persiapan yang banyak, rancangan, dan penelitian.
Media audio visual yaitu alat bantu mengajar yang mempunyai bentuk gambar dan mengeluarkan suara secara simultan. Dengan media audio-visual ini seseorang tidak hanya dapat melihat tetapi sekaligus dapat mendengar sehingga dikenal dengan istilah audio visual aids (AVA) atau alat pandang dengar. Termasuk dalam media ini adalah film cerita, video, televisi, laser disc, compact disc video, dan computer multimedia.
Beberapa persoalan media yang dihadapi para guru di sekolah – sekolah adalah minimnya media untuk pembelajaran mendengarkan. Selama ini untuk pembelajaran mendengarkan langkah pembelajaran yang biasanya dilakukan guru adalah membacakan teks berita di depan kelas, siswa menyimak, kemudian guru memberikan pertanyaan seputar isi teks bacaan tersebut. Pada langkah yang lebih maju , biasanya guru merekam pembacaannya di pita kaset dan pada saat pembelajaran di kelas guru memutarkan hasil rekamannya menggunakan tape recorder.
Dalam pembelajaran mendengarkan penggunaan VCD sebagai media pembelajaran sangat menguntungkan. Akan tetapi , lembaga yang bersedia membuat media pembelajaran dalam bentuk Program VCD / video pendidikan untuk sekolah-sekolah sangatlah jarang. Barangkali karena pembuatan VCD Pendidikan kurang memberikan keuntungan materiel dibanding membuat video komersial seperti film dan lagu-lagu maka jarang ada lembaga yang mau membuat video pendidikan ini.
Nilai plus penggunaan VCD pembelajaran penggunaan VCD pada pembelajaran mendengarkan tentunya memberikan nilai plus ( nilai tambah ) . Beberapa nilai plus dalam proses belajar mengajar antara lain :
1. Penggunaan VCD dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar
2. Media pengajaran ini dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga pembelajaran berlangsung efektif dan efisien.
3. Penggunaan VCD dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
4. Mengingat materi yang bisa disajikan dalam VCD pembelajaran ini sangat variatif baik masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya di Indonesia , maka akan menambah khasanah pengetahuan siswa dalam bidang-bidang tersebut, yang pada akhirnya akan mempertebal semangat nasionalisme dan kecintaan pada tanah air.
PEMBELAJARAN MENYIMAK DRAMA MENGGUNAKAN MEDIA AUDIOVISUAL (VCD)
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya menyimak, perlu adanya upaya-upaya dari guru agar pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif. Ukuran efektifitas proses pembelajaran Bahasa Indonesia adalah pada hasil yang dicapai berupa keterampilan siswa dalam mneyimak Bahasa Indonesia.
Standar kompetensi pada pembelajaran menyimak diharapkan siswa mampu mendengarkan dan memahami serta menanggapi berbagai ragam lisan. Salah satunya adalah mampu mengungkapkan dan merefleksi pementasan drama.
Keterampilan menyimak merupakan suatu keterampilan yang tidak datang dengan sendirinya. Dalam kegiatan belajar-mengajar, tugas guru adalah membantu siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, mengelola kelas dalam kegiatan mengajar agar pembelajaran dengan kurikulum Teknologi satuan pendidikan dapat tercapai.
Penggunaan media pembelajaran tidak disebut secara eksplisit dalam Kurikulum KTSP . Hal ini memberi gambaran bahwa penggunaan media bersifat terbuka. Jadi pengajar dipersilakan memilih, merencanakan dan menggunakan media pembelajaran yang diinginkan asalkan sesuai dengan kondisi lingkungan belajar. Selain itu perlu dipertimbangkan pencapaian tujuan dan butir pembelajaran atau standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Dalam usaha meningkatkan hasil pembelajaran menyimak, peranan media sangat penting dalam membantu kelancaran, efektifitas, dan efisiensi dalam mencapai tujuan.
Dalam pembelajaran menyimak drama melalui VCD guru memberikan penjelasan tentang materi menyimak dan pementasan drama melalui media audio-visual khususnya VCD, kemudian siswa diperlihatkan pementasan drama. Guru memperhatikan sikap siswa yang tidak tepat. Setelah selesai menyimak drama, siswa melakukan refleksi terhadap pementasan drama. Kemudian siswa mengungkapkan hasil refleksi pementasan drama melalui kegiatan berkelompok. Setiap kelompok membacakan hasilnya dan memberikan tanggaan terhadap kelompok yang membacakan hasil kerjanya tersebut.
Pembelajaran menggunakan media audiovisual (VCD) sangat membantu siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Penggunaan media ini dapat memotivasi siswa dalam merefleksi pementasan drama yang ditontonnya melalui VCD.





PENUTUP
Dalam usaha meningkatkan hasil pembelajaran menyimak, peranan media sangat penting dalam membantu kelancaran, efektifitas, dan efisiensi dalam mencapai tujuan.
Dalam pembelajaran menyimak drama melalui VCD guru memberikan penjelasan tentang materi menyimak dan pementasan drama melalui media audio-visual khususnya VCD, kemudian siswa diperlihatkan pementasan drama. Guru memperhatikan sikap siswa yang tidak tepat. Setelah selesai menyimak drama, siswa melakukan refleksi terhadap pementasan drama. Kemudian siswa mengungkapkan hasil refleksi pementasan drama melalui kegiatan berkelompok. Setiap kelompok membacakan hasilnya dan memberikan tanggaan terhadap kelompok yang membacakan hasil kerjanya tersebut.
Dalam proses belajar-mengajar hendaknya guru menggunakan media, karena agar siswa tidak bosan dengan materi yang disampaikan oleh guru. Salah satunya adalah pembelajaran menyimak drama melalui media audio-visual (VCD) yang dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam aspek menyimak dan mengarahkan perhatian siswa sehingga pembelajaran berlangsung efektif dan efisien.












DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Azhar. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

http://akhmadsudrajat.media pembelajaran.com.

http://gumawangcity.blogspot.com/2007.hakikat menyimak.

http://martiningsih.blogspot.com/2007/10/penelitian-tentang-manfaat-tve.html)

http://www.blogger.com/feeds/2754832685471863545/posts/default.

http://www.ialf.edu/kipbipa/abstracts/erizalgani.htm

http://wijayalabs.blogspot.2007.com.

http://yadissetya.wordpress.com/2007/11/11/pembuatan-vcdsolusi-permasalahan-pembelajaran-mendengarkan-di-sekolah/#comment-2
Rahmina, Iim. Listening in Action: Upaya Meningkatkan Kemampuan Menyimak Pembelajar BIPA. Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Roekhan, Aminuddin. 2003. Apresiasi Drama. Depdiknas.

Rost, M. (1991). Listening in Action: Activities for Developing Listening in Language Teaching. New York: Prentice Hall.

Suharianto, S. 2005. Dasar-dasar Teori Sastra. Semarang: Rumah Indonesia.

Tarigan, Guntur. 1993. Menyimak. Bandung: Angkasa.

Welek, Rene, dan Austin Warre diterjemahkan Melani Budianta. Teori Kesusastraan. 1995. Jakarta: Gramedia.

Zainuddin. 1991. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

teori konstruktivisme

STUDI PERBANDINGAN ANTARA TEORI KONSTRUKTIVISME
DAN KONSEP E-LEARNING DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA


Abstrak.Teori konstruktivisme adalah teori yang berpendapat bahwa dalam pembelajaran terjadi melalui suatu proses membangun pengetauan dari diri siswa yang umumnya dipengaruhi oleh pengajar, materi ajar dan siswa itu sendiri. Sedangkan konsep e-learning adalah sistem yang berfungsi sebagai mediator dan katalisator dalam belajar, sama halnya dengan fungsi guru dalam sekolah konvensional. Selanjutnya penulis membandingkan proses dan hasil pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan teori di atas. Pada teori konstruktivisme dituntut keaktifan siswa untuk pengembangan diri, pengajar aktif untuk mengembangkan teori dan strategi, sarana cukup sederhana sehingga biaya murah, sedangkan dalam konsep e-learning, siswa harus aktif menggali informasi secara mandiri, pengajar tidak aktif, sarana belajar harus lengkap sehingga memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun, baik teori konstruktivisme maupun e-learning mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Kedua teori tersebut mempunyai pengaruh terhadp hasil belajar-mengajar, sekalipun hasilnya berbeda. Dalam hal penerapan praktik menulis akademik dalam bahasa Indonesia, para siswa yang belajar dengan teori konstruktivisme hasilnya lebih baik daripada e-learning, sedangkan dalam penguasaan kosa kata dan istilah hasilnya lebih baik siswa, maka teori konstruktivisme dan e-learning sama-sama dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses belajar-mengajar, khususnya dalam proses belajar-mengajar, khususnya dalam proses belajar-mengajar hal menulis akademik.
Kata kunci: konstruktivisme, e-learning, pembelajaran bahasa.

PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat membutuhkan perubahan materi yang fleksibel dan harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi tersebut. Dalam model pembelajaran berbasis web terdapat struktur belajar mandiri yang menyediakan materi dan tugas yang memungkinkan adanya interaksi terbuka dan efektif antara guru dan siswa, sehingga siswa akan lebih mudah memahami konsep-konsep yang sulit sehubungan dengan masalah konsep yang dihadapi dalam suatu pembelajaran.
Menurut teori konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif siswa dalam mengkonstruksi arti, wacana, dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Dalam konsep konstruktivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah hasil konstruksi kita sendiri, maka sangat kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain (Max Darsono, 2000)
Dalam proses belajar di kelas, menurut Nurhadi dan kawan-kawan (2004), siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan ide-ide, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme ini adalah ide. Siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan.
Penulis berharap dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan studi perbandingan antara teori konstruktivisme dan konsep e-learning dapat menjadi pedoman bagi guru agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam proses belajar mengajar.

KAJIAN PUSTAKA
STRATEGI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Lebih dua dasa warsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini.
Filsafat konstruktivisme menjadi landasan bagi banyak strategi pembelajaran, terutama yang dikenal dengan nama student-centered learning, yang digunakan adalah pembelajaran bukan belajar mengajar. Hal ini perlu dipahami berdasarkan premis dasar konstruktivisme yang mengutamakan keaktifan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan interaksinya dalam pengalaman belajar yang diperoleh. Dalam hal ini siswa dan proses belajar siswa menjadi fokus utama, sementara guru berfungsi sebagai fasilitator, dan atau bersama-sama siswa juga terlibat dalam proses belajar. Berdasarkan konstruktivisme, guru ataupun buku teks bukan satu-satunya sumber informasi dalam pembelajaran (Pannen Paulina dkk, 1998)
Siswa mempunyai akses terhadap beragam sumber informasi yang dapat digunannya untuk belajar. Beberapa jenis informasi mungkin akan lebih dominan bagi satu siswa dibandingkan siswa lain karena adanya selective conscience. Perilaku dari pembelajaran konstruktivisme menunjukkan kemampuan siswa untuk mengahsilkan sesuatu (generate), menunjukkan suatu kinerja (demostrate peformance), dan memamerkan hasil karyanya untuk umum (exhibit) bukan sekedar mengulang apa yang sudah diajarkan gurunya (Soekamto, T dan Winaputra, U.S, 1999).
Sardiman (2005:15) teori konstruktivisme ditakrifkan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu maksud daripada apa yang mereka pelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan idea yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang itu mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamik.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
a. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman sedia ada.
b. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
c. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi di antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
d. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan maklumat baru dengan pemahamannya yang sedia ada.
e. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Ia berlaku apabila seorang pelajar menyedari idea-ideanya tidak konsisten atau secocok dengan penerangan saintifik.
f. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir yang dipergunakan dalam pembelajan konstektual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Achmad Sugandi, dkk, 2006:41).
Menurut Baharudin dalam buku teori belajar dan pembelajaran (2007:127), pendekatan belajar konstruktivisme memiliki beberapa strategi dalam proses belajar. Strategi-strategi belajar tersebut adalah,
a. Top-Down Processing
Dalam pembelajaran konstruktivisme, siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut, dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.


b. Cooperative learning
Adalah stretegi yang digunakan untuk proses belajar, dan siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa yang lain tentang problem yang dihadapi.
c. Generative learning
Strategi ini menekankan pada adanya integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperleh dengan seksama. Sehingga dengan menggunakan pendekatan generative learning diharapkan siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru.
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut (http://blog.persimpangan.com/blog/2007/09/21/construktivisme-teori-konstruktivisme)
Konstruktivisme pada dasarnya merupakan sebuah teori tentang bagaimana orang belajar. Teori ini memandang seseorang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Di dalam konteks pembelajaran, siswa dipandang sebagai individu yang aktif membangun pemahamannya sendiri dan pengetahuan dunia sekitarnya dengan mengalami sendiri dan merefleksikan pengalaman tersebut.
Dalam konstruktivisme, guru berperan sebagai fasilitator dalam proses
pembelajaran. Ia sebaiknya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima
pelajaran, termasuk memilih metode dan teknik yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Dalam kaitannya dengan pembelajaran mata pelajaran tertentu, guru seharusnya mengetahui hakikat mata pelajaran itu sendiri, hakikat anak, dan cara mengajarkan mata pelajaran tersebut menurut teori yang diterapkan. Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar (http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/26612).
Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat sekolah. Mengikut kepahaman konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan daripada guru kepada guru dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu dibina sesuatu pengetahuan itu mengikut pengalaman masing-masing. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Pikiran murid tidak akan menghadapi realita yang berwujud asing dalam lingkungan. Realita yang diketahui murid adalah realita yang dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.
Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil kira struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila maklumat baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Proses ini dinamakan konstruktivisme (http://andyspamkidz.multiply.com/journal/item/3)

Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme
1. Discovery Learning
Dalam model ini, siswa didorong untuk belajar sendiri, belajar aktif melalui konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan guru sebagai motivatornya. Pertama, guru mengidentifikasi kurikulum. Selanjutnya memandu pertanyaan, menyuguhkan teka-teki, dan menguraikan berbagai permasalahan. Kedua, pertanyaan yang fokus harus dipilih untuk memandu siswa ke arah pemahaman yang bermakna. Siswa lalu memformulasikan jawaban sementara (hipotesis). Ketiga, mengumpulkan data dari berbagai sumber yang relevan, dan menguji hipotesis. Keempat, siswa membentuk konsep dan prinsip. Kelima, guru memandu proses berfikir dan diskusi siswa, untuk mengambil keputusan. Keenam, merefleksikan pada masalah nyata dan mengolah pemikiran guna menyelesaikan masalah. Proses ini mengajarkan siswa untuk memahami isi dan proses dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, siswa belajar menyelesaikan masalah, mengevaluasi solusi, dan berfikir logis.
2. Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam model ini, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang bermakna untuk mereka. Persoalan sesungguhnya dari pembelajaran berbasis masalah adalah menyangkut masalah nyata, aksi siswa, dan kolaborasi diantara mereka untuk menyelesaikan masalah. Pertama, guru memotivasi diri siswa, dan mengarahkannya kepada permasalahan. Kedua, guru membantu siswa dengan memberi petunjuk tentang literatur yang terkait masalah, dan mengorganisirnya untuk belajar dengan membuat kelompok kerja.
Ketiga, guru menyemangati siswa untuk mencari lebih banyak literatur, melakukan percobaan, membuat penjelasan untuk menemukan solusi. Setelah itu, secara mandiri, kelompok kerja siswa melakukan penyelidikkan. Keempat, kelompok kerja siswa mempresentasikan hasil temuannya, baik itu berupa laporan, video, model, dan dibantu guru dalam mendiskusikannya. Kelima, kelompok kerja siswa menganalisis, dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah. Pada bagian ini pula, guru membantu siswa dalam merefleksikannya.
Pada model ini, guru dan siswa bersama-sama dalam proses, sesuai dengan porsinya. Mereka bersama-sama untuk mengkaji, membaca, menulis, meneliti, berbicara, guna menuju pada penyelesaian masalah selayaknya dalam kehidupan yang nyata. Tidak ada satupun teori tunggal konstruktivisme, begitupula tidak ada satu-satunya model pembelajaran sebagai penerapan konstruktivisme.
(http://kesadaransejarah.blogspot.com/2007/12/konstruktivisme-dan-pembelajaran.html)



PEMBELAJARAN DENGAN KONSEP E-LEARNING
Belajar mandiri didefinisikan sebagai usaha individu mahasiswa yang otonomi untuk mencapai suatu kompetensi akademis. E-learning sebagai bentuk belajar mandiri bukan merupakan usaha untuk mengisolasi siswa dari bimbingan guru karena guru berfungsi sebagi sumber, pemandu, dan pemberi semangat. Belajar mandiri menunjukkan bahwa siswa tidak tergantung pada penyeliaan (supervision) dan pengarahan guru terus menerus, tetapi siswa juga mempunyai kreatifitas dan inisiatif sendiri, serta mampu untuk bekerja sendiri dengan merujuk pada bimbingan yang diperolehnya.
Winarto (2004) dalam karya tulis ilmiah sosial, menyebutkan bahwa istilah pembelajaran berbasis web (e-learning) merupakan usaha untuk membuat sebuah transformasi proses belajar mengajar ke dalam bentuk digital yang dijembatani oleh teknologi internet. Tujuan pembelajaran berbasis web ini menitikberatkan pada efisiensi proses belajar mengajar. Cara pengajaran maupun materi agar tetap mengacu pada SAP dan kurikulum nasional. Konsep knowledge management, belajar mandiri yang berbasis pada kreativitas siswa, akan mendorong siswa melakukan analisa hingga sintesa pengetahuan, menghasilkan tulisan, informasi dan pengetahuan sendiri menjadi fokus yang lebih mengarah ke masa depan.
Menurut Syamsudin (2006), ada tiga manfaat utama dari metode pembelajaran e-learning, yakni:
a. E-learning (khususnya yang berbasis web) memberikan fleksibilitas
b. E-learning memberikan independensi bagi siswa. Siswa diberikan kesempatan memegang kendali senidir terhadap keberhasilan proses belajar yang dia lakukan.
c. Secara umum, metode pembelajaran e-learning memberi konsekuensi biaya yang relatif murah.




PEMBAHASAN
KONSEP PEMBELAJARAN BAHASA
Situasi pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan konstruktivisme, memberikan kesempatan siswa untuk mengadakan “konstruk” dengan kemampuan yang dimilikinya. Guru hanya memberikan sejumlah materi, dan siswa yang akan menginterpretasikannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Keberhasilan konsep ini ditinjau dari kualitas masing-masing individu dalam usaha pengembangan diri. Ada empat isu pokok yang dapat dicari jawabannya di kelas, yaitu
a. Pengaruh penerapan konsep konstruktivisme oleh pengajar.
b. Bahasa pengajar.
c. Perilaku siswa di kelas.
d. Interaksi yang terjadi di kelas.
Dari data di atas diharapkan dapat dikembangkan rancangan atau pilihan rancangan pengajaran bahasa yang ideal untuk diterapkan di kelas bahasa Indonesia. Seperti halnya pembelajaran menulis pada mata pelajaran bahasa Indonesia menunjukkan hasil yang lebih baik dengan menggunakan hasil yang lebih baik dengan menggunakan konsep konstruktivisme, sementara pengayaan kosa kata dan tata bahasa menunjukkan kecenderungan hasil yang lebih baik dengan menggunakan model pembelajaran e-learning. (Koran Jaya Komar C, Makalah: Aplikasi Learning dalam Pembelajaran dan Pengajaran di Sekolah-sekolah Malaysia)
Perbandingan Situasi Pembelajaran Berdasarkan Knstruktivisme
Dan Pembelajaran E-Learning
Pembelajaran Konstruktivisme Pembelajaran E-Learning
Ruang lingkup pembelajaran disajikan secara utuh dengan penjelasan keterkaitan antarbagian, dengan penekenan pada konsep utama. Ruang lingkup pembelajaran disajikan secara terpisah tedapat bagian khusus untuk monitoring kegiatan proses belajar dan hasil evaluasi siswa.

Pertanyaan siswa dan konstruksi jawaban siswa adalah penting. Kemampuan dan kemandirian siswa dalam melakukan kegiatan evaluasi dan monitoring hasil evaluasi secara mandiri.
Kegiatan pembelajaran berlandaskan beragam sumber informasi primer dan materi-materi dapat dimanipulasi langsung oleh siswa. Kegiatan pembelajaran berlandaskan beragam sumber informasi primer dan sekunder dan materi-materi yang dikelola langsung oleh sistem.
Dosen bersikap interaktif dalam pembelajaran, menjadi fasilitator dan mediator dari lngkungan bagi siswa dalam proses belajar. Guru hanya sebagai evaluator dan mengembangkan materi pembelajran untuk di upload di website.
Penilaian terhadap proses belajar siswa merupakan bagian integral dalam pembelajaran, dilakukan melalui observasi guru terhadap hasil kerja siswa melalui portofolio siswa . Penilaian terhadap proses belajar siswa merupakan bagian kontinuitas dalam pembelajara, evaluasi an hasil evaluasi dilakukan secara mandiri melalui sistem yang disediakan.
Lebih banyak siswa belajar dalam kelompok dan dituntut keaktifan siswa dalam pengembangan diri. Siswa harus bekerja secara mandiri.

Perbandingan Konsep Konstruktivisme dan E-Learning Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menurut Akhadiah, dkk (1998:35) dalam pengajaran menulis, praktik melalui pemberian tugas-tugas menjadi basis utama pengembangan kompetensi siswa. Pilihan strategi itu digambarkan dalam bagan berikut:
GOAL → CONTENT → EXPERIENCE → EVALUATION

Bagan tersebut menempatkan pengalaman menulis siswa sebagai sentral kegiatan belajar-mengajar bahasa. Negosiasi makna dalam bentuk menulis berlangsung dalam suasana berbahasa nyata yang telah diorganisasikan oleh pengajar.
Konsep konstruktivisme menuntut keaktifan siswa untuk mengembangkan diri secara intensif, sedangkan konsep e-learning menuntut siswa untuk selalu menyerap informasi yang disampaikan lewat website. Kemudian ketersediaan fasilitas yang diberikan kepada siswa untuk belajar secara mandiri dengan setting secara lebih bebas, sering membuat kondisi pembelajaran tidak terkontrol. Kemampuan siswa yang diukur dengan cara evaluasi setiap menyelesaikan materi tidak mencerminkan hasil evaluasi yang sebenarnya. Sementara konsep konstruktivisme lebih memudahkan guru dalam memantau tahap evaluasi dan hasil evaluasi, sehingga kekurangan pada sebagian siswa dapat terpantau sejak dini. Hasil yang diharapkan dalam pembelajaran berbasis konstruktivisme dan e-learning.
Dengan sistem e-learning siswa belajar secara aktif dan berinteraksi dengan materi secara langsung, interaksi siswa dengan sistem dibangun dan direncanakan untuk tujuan pembelajaran, sistem akan mengajukan beberapa pertanyaan yang dapat memotivasi siswa. Dialog maya antara siswa dengan sistem semakin memudahkan siswa dalam mengakses materi karena kemudahan sistem dengan setting bebas. Sedangkan konsep konstruktivisme, siswa masih memanfaatkan setting kelas, dengan pemanfaatan instuisi dan persepsi indrawi dengan guru sebagai fasilitator. Dengan mengetahui perbandingan antara konsep konstruktivisme dan e-learning¬, dinilai dapat menumbuhkan berbagai rancangan yang diharapkan dapat memenuhi kiteria pembelajaran menulis, yaitu lebih banyak berlatih atau praktik nyata (meaning focus), dan menulis sebagai berekspresi dan menyampaikan gagasan (http://mpkt.edu.my/bahan/konstruktivisme.doc).
Dengan dasar itu, keunggulan pembelajaran konsep konstruktivisme harus dikemas manjadi proses “mengkonstruksi” bukan saja “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Sementara konsep e-learning membutuhkan strategi dan keaktifan guru untuk memperkaya materi yang akan diolah oleh sistem.

PENUTUP
Belajar menggunakan filsafat konstruktivisme mengutamakan keaktifan siswa dalam mengkonstruksikan pengetahuan berdasarkan interaskinya dalam pengalaman belajar yang diperoleh. Jelas dalam hal ini, siswa dan proses belajar siswa menjadi fokus utama, sementara guru berfungsi sebagai fasilitator, atau bersama-sama siswa terlibat dalam proses belajar-mengajar. Bagi konstruktivis, mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar juga.
Belajar mandiri menggunakan fasilitas website menuntut siswa mempunyai tanggung jawab besar atas proses belajarnya. Belajar mandiri mengharuskan siswa untuk menyelesaikan suatu tugas melalui analisis, sintesis, dan evaluasi suatu topik materi secara mendalam. Yang penting ialah bahwa belajar dapat digunakan untuk mencapai akhir dari pendidikan, yaitu siswa dapat menjadi guru bagi dirinya sendiri.
Ditemukan pembuktian bahwa, pada teori konstruktivisme dituntut keaktifan siswa untuk mengembangkan diri, pengajar aktif untuk mengembangkan teori dan strategi, sarana cukup sederhana sehingga biaya murah, sedangkan dalam konsep e-learning, siswa harus aktif menggali informasi secara mandiri, pengajar tidak aktif, sarana belajar harus lengkap sehingga memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun, baik teori konstruktivisme maupun e-learning mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Kedua teori tersebut mempunyai pengaruh terhadap hasil belajar-mengajar, sekalipun hasilnya berbeda.




DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, Sabarti, Madiar G. Arsjad, Sakura H. Ridwan. 1998. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Baharuddin, Wahyuni, Nur Esa. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

http://andyspamkidz.multiply.com/journal/item/3 tanggal 09 maret 2008, pukul 14.58.

http://blog.persimpangan.com/blog/2007/09/21/construktivisme-teori-konstruktivisme tanggal 09 maret 2008, pukul 14.50.

http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/26612, tanggal 9 maret 2008, pukul 14.56

http://kesadaransejarah.blogspot.com/2007/12/konstruktivisme-dan-pembelajaran.html, tanggal 09 Maret 2008, pukul 14.36.

http://mpkt.edu.my/bahan/konstruktivisme.doc, tanggal 09 Maret 2008, pukul 14.15

Koran, Jaya Komar C. 2007. Makalah: Aplikasi Learning dalam Pembelajaran dan Pengajaran di Sekolah-sekolah Malaysia.

Max Darsono. 2000. Belajar dan Pembelajaran. IKIP Semarang Press.

Nurhadi, Burhan, A Gerad. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Pannen, Paulina, dkk. 1998. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Jakarta :PAU Dikti Depdiknas.

Sardiman. 2005. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta: CV Rajawali.

Soekamto, T dan Winaputra, U.S. 1997. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdikbud.

Sugandi, Achmad, dkk. 2006. Teori Pembelajaran. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Syamsudin, Vismaia. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Winarto, yunita, dkk. (Ed). 2004. Karya Tulis Ilmiah Sosial. Jakarta.